Header Ads

Semangat Juang dalam Peristiwa 10 November

 

...... Selama Banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah. Yang dapat membikin secarik kain putih, merah dan putih. Maka selama itu, tidak akan kita menyerah kepada siapapun....”. 
– Soetomo alias Bung Tomo

    Hari ini, tepat 75 tahun yang lalu terjadi sebuah peristiwa besar menjadi bagian dari sejarah bangsa kita ini, yaitu peristiwa 10 November. Pada hari itu Bangsa Indonesia dengan gagah berani mempertahankan Kota Surabaya yang digempur oleh pasukan sekutu dari darat, laut, dan udara. Pada saat itu Indonesia masih seumur jagung dan memiliki alat pertahanan yang seadanya dari rampasan tentara Jepang dibandingkan tentara sekutu yang merupakan pemenang dari Perang Dunia II tentu memiliki persenjataan yang lengkap.

    Namun Bangsa kita tak gentar dengan gempuran dari tentara sekutu. Dapat dilihat dari penggalan pidato Bung Tomo diatas bahwa bangsa ini siap berkorban demi mempertahankan kemerdekaan dan menolak untuk menyerah.

    Peristiwa 10 November dilatarbelakangi oleh kematian Brigadir Jenderal Mallaby pada tanggal 30 Oktober 1945. Pengganti Mallaby, Mayor Eric Carden Robert Mansergh memberikan ultimatum kepada rakyat Surabaya untuk melapor dan menyerahkan senjatanya paling lambat tanggal 10 November pukul 06:00 pagi.

    Namun rakyat Surabaya menolak untuk menyerah dan memilih untuk mengangkat senjata. Mereka lebih memilih mati dalam mempertahankan kemerdekaan bangsanya daripada menyerah dan kembali menjadi jajahan negeri Belanda. Sebab kedatangan tentara sekutu di Surabaya selain melucuti tentara Jepang dan membebaskan tahanan selama Jepang berkuasa di Indonesia, tentara sekutu yang diboncengi NICA ternyata juga ingin mengembalikan Indonesia dibawah kekuasaan negeri Belanda.

    Tentu niat NICA ini membuat rakyat Surabaya marah karena tidak menghormati kemerdekaan bangsa Indonesia. Maka tidak heran kedatangan seringkali terjadi konflik antara tentara sekutu dengan rakyat Surabaya seperti Insiden Hotel Yamato pada 19 September, konflik tentara AFNEI dengan Indonesia pada tanggal 27 Oktober, Hingga kematian Brigadir Jenderal Mallaby sehari setelah adanya gencatan senjata akibat serangan milisi.

Frank Palmos dalam bukunya Surabaya 1945: Sakral Tanahku menyebutkan bahwa selama masa penangguhan antara 1 November sampai 9 November, rakyat Surabaya memilih tidak untuk memikirkan “badai” yang akan menerpa dan mempersiapkan diri sebelum meletusnya pertempuran. Dalam buku itu juga disebutkan bahwa rata-rata umur para pejuang sekitar berumur 22 tahun dan memiliki tekad yang besar untuk menghadapi pertempuran maha dahsyat dalam awal kemerdekaan Indonesia.

    Pada masa itu juga banyak Pidato-pidato yang digaungkan untuk meningkatkan semangat moral kepada para pejuang. Semboyan “Merdeka atau Mati” juga terselip didalam Pidato-pidato tersebut.

    Tiba pada tanggal 10 November, pasukan sekutu menyerbu kota Surabaya dari berbagai arah. Kemenangan yang diprediksi tiga hari ternyata menghabiskan tiga minggu untuk menggempur sebuah kota dari negara yang baru merdeka. Hal ini berkat dari semangat para pejuang yang rela mengorbankan jiwa dan raganya daripada hidup dibawah kaki penjajah lagi. Secara taktis, tentara sekutu memperoleh kemenangan. Namun secara strategis dan psikologis, pertempuran ini dimenangkan oleh pihak Indonesia.

    Demikianlah cerita heroik bangsa kita dalam mempertahankan kemerdekaan yang diimpikan selama berabad-abad. Sekitar 6000-16000 pejuang yang sebagaian besar namanya tak dikenal rela gugur demi generasi sekarang. Janganlah kita sekedar memperingati hari bersejarah ini tanpa tau makna dibaliknya. Hargailah mereka dan ungkapkan rasa terima kasih kita dengan membangun negeri ini agar segala yang telah mereka korbankan tidak menjadi sia-sia.

MERDEKA ATAU MATI!!!!!!

~ M. Isa Fisabililah ~
   Staff Keilmuan HIMSERA FKIP Untan 2020/2021
   Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Untan 


No comments