Tragedi Salim Kancil
Salim adalah petani
kelahiran Lumajang, 22 April 1969. Tanah garapannya berada di sekitar lokasi
penambangan pasir di pesisir pantai selatan Watu Pecak. Sawah Salim
cuma seluas delapan petak (sekitar 1,5 hektar). Tapi lahan itulah satu-satunya sumber
penghidupan Salim sekeluarga. Ia bergantung pada sistem agraria, sebagaimana
profesi yang dilakoni para tetangga di kanan-kiri rumahnya. Laporan Antara dua tahun silam
menyebutkan Salim tidak sempat mengenyam bangku sekolah. Tapi, dari apa yang ia
lihat dengan mata kepala sendiri, Salim memahami bahwa penambangan pasir ilegal
mengancam kelestarian lingkungan.
Pada Sabtu, 26 September
2015, Salim Kancil menikmati pagi dengan memomong cucunya yang berusia lima
tahun. Keduanya bermain di teras rumah di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan
Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Sekitar pukul 07.30, 40-an pria
tiba-tiba datang dengan saling berboncengan motor. Di tangan mereka tergenggam
balok kayu, batu, celurit, dan senjata lain. Suara-suara provokasi, nada-nada
ancaman, sudah terdengar dari jarak jauh. Mencium
gelagat yang tidak baik, Salim segera menggendong cucunya masuk ke dalam rumah.
Dugaannya benar. Dirinya langsung dikeroyok, dipukuli, dan dianiaya tanpa
ampun. Pria-pria tersebut adalah tim
preman yang ditugaskan Kepala Desa Selok Awar-Awar, Haryono, untuk menghabisi
nyawa Salim. Ketuanya bernama Desir. Ancaman pembunuhan sebenarnya sudah
berlangsung sejak lama. Pagi itu adalah puncaknya.
Sejak 2013 dampak pertambangan pasir sudah
mulai dirasakan petani Desa Selok Awar-Awar. Irigasi pertanian rusak. Warga
tidak bisa menanam padi karena pertambangan merusak pesisir, air laut masuk ke
daratan dan menggenangi areal persawahan. Salim tidak
bisa lagi menggarap sawahnya akibat kerusakan-kerusakan tersebut. Ia dan
beberapa warga kemudian membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok
Awar-Awar. Anggotanya terdiri dari 12 orang dengan teman masa kecilnya, Hamid,
selaku koordinator. Forum mulai bergerak memprotes penambangan
pasir di Desa Selok Awar-Awar sejak awal 2015. Pada Juni, misalnya, mereka
mengirim surat kepada Bupati Lumajang untuk meminta audiensi. Sayangnya tidak
ada respon dari pihak kabupaten yang diwakili Camat Pasirian. Memasuki September, forum masih konsisten
menyuarakan advokasinya. Pada tanggal 9 di bulan yang sama mereka menggelar
aksi damai untuk menuntut penghentian aktivitas truk bermuatan pasir yang
berpusat di Balai Desa Selok Awar-Awar. Kepala Desa Haryono akhirnya melunak. Ia
menandatangani surat pernyataan untuk menghentikan aktivitas tambang. Hal ini
membuat forum merasa sedikit lega. Namun, yang tidak diketahui anggota forum,
Haryono sebenarnya masuk dalam komplotan pendukung tambang. Haryono sudah lama merasa gerah dengan aksi
Salim dan kawan-kawan. Keesokan harinya, Desir dan gerombolan preman yang
dibentuk diam-diam oleh Haryono mengirim ancaman pembunuhan kepada anggota
forum. Harapannya agar forum ciut nyali dan penambang bisa leluasa menjalankan
aktivitas. Haryono
keliru. Isu tambang adalah perkara hidup dan mati bagi para petani di Selok
Awar-Awar. Keberanian forum tetap terjaga. Meski demikian, karena merasa posisinya
sedang terancam, forum kemudian melaporkan aksi main ancam komplotan Desir ke
Polres Lumajang. Kasat Reskrim menanggapinya dengan menjamin
keamanan anggota forum dan menjalin koordinasi dengan Polsek Pasirian. Pada 19
September, forum menerima surat pemberitahuan terkait nama-nama penyidik yang
akan menangani kasus ancaman pembunuhan. Forum sempat merasa lega. Mereka melanjutkan
perjuangan dengan mengadakan konsolidasi aksi penolakan tambang pasir pada 25
September. Rencananya aksi akan digelar keesokan hari sekitar pukul 07.30 WIB
dan melibatkan warga luar forum yang bersimpati. Lagi-lagi, yang tidak mereka ketahui, di waktu
yang sama para preman sedang mempersiapkan serangan balasan. Salim dijadikan
target utama karena ia adalah anggota forum yang paling vocal.
Kronologi yang dilansir dari laman Selamatkan Bumi menyebutkan Salim dijemput paksa dari rumahnya dalam
kondisi tangan diikat tali. Sepanjang jalan menuju Balai Desa, yang berjarak
kurang lebih dua kilometer, ia mendapat penyiksaan berat. Pukulan tangan kosong, hantaman kayu, terjangan batu,
berkali-kali mendarat di tubuhnya yang sudah lunglai. Kepalanya mengucurkan
darah, yang membasahi bajunya yang mulai koyak. Gerombolan pelaku benar-benar
bernafsu menghabisi nyawa Salim. Dari
Balai Desa, Salim dibawa menuju sebuah jalan yang sepi ke arah makam. Di sana
ia mendapat penyiksaan yang lebih kejam lagi. Tubuhnya disetrum. Kepalanya digorok.
Seonggok batu besar dihajarkan ke kepalanya.Sabtu, 26 September 2015, tepat
kemarin empat tahun lalu, Salim Kancil meregang nyawa. Mayat pria berusia 46
itu dibiarkan tergeletak begitu saja di pinggir jalan.
Kawan Salim, salah satu anggota forum bernama Tosan, juga diamuk komplotan Desir. Tosan pagi itu sedang membagikan selebaran anti-tambang. Ia sempat kabur dengan menggunakan sepeda, namun terjatuh di Lapangan Persil. Ia mendapat perlakuan yang persis seperti yang dialami Salim di balai desa. Tosan bernasib lebih baik. Penganiayaan berhenti sebab ia berpura-pura meninggal, demikian tuturnya saat sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (25/2/2016), seperti dikutip Antara. Ia selamat setelah dibawa ke Rumah Sakit Saiful Anwar, Malang. Puluhan pelaku diamankan dalam kasus ini. Dua otak pembunuhan, Haryono dan Desir, divonis 20 tahun penjara pada persidangan bulan Juni 2016. Vonis ini dinilai mengecewakan bagi Tosan yang berharap pelaku dihukum mati
_____________________________________________________________
Source : Tirto.id
______________________________________________________________________________
Jaringan Komunikasi dan Informasi Himpunan
Mahasiswa
Pendidikan Sejarah 2019/2020
______________________________________________________________________________
Email : himsera.fkipuntan@gmail.com
Instagram : himsera_fkipuntan
Blog : portalhimsera.blogspot.com
YT & FB :Himsera FKIP Untan
Post a Comment